| Foto : Nana Kustara, SH., MH |
Niansametro.com - Karawang | Polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Karawang terus memanas. Aksi unjuk rasa Serikat Tani Karawang (STAKAR) ke gedung DPRD Karawang pada Jumat (3/10/2025) lalu, menjadi titik awal mencuatnya protes besar-besaran dari masyarakat yang menolak kebijakan tersebut.
Kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Karawang Nomor: 973/Kep.502-Huk/2021 itu disebut menyebabkan lonjakan tagihan PBB hingga 620 persen. Publik menilai, kebijakan ini tidak hanya membebani warga, tetapi juga mengindikasikan adanya persoalan tata kelola pajak yang belum terselesaikan di Karawang.
Fenomena Gunung Es
Pengamat Kebijakan Publik Nana Kustara, SH.MH menyebut, kebijakan ini ibarat “fenomena gunung es”. Menurutnya, apa yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari persoalan besar yang sebenarnya terjadi di balik sistem perpajakan daerah.
“Sebagian publik meyakini masih banyak masalah dalam tata kelola pajak Karawang yang belum terungkap. Dan bila ini tidak segera disikapi dengan cepat, bijak, dan transparan, bisa menjadi bom waktu bagi pemerintahan Aep–Maslani,” ujar Nana kepada wartawan, Sabtu (1/11/2025).
Nana menilai, Bupati Aep Syaepuloh harus segera mengambil langkah strategis, apakah dengan meninjau ulang kebijakan PBB-P2 atau mengeluarkan kebijakan baru yang lebih berpihak pada rakyat.
“Kalau dibiarkan, gelombang protes akan semakin besar. Ini bukan sekadar masalah teknis pajak, tapi sudah menyentuh aspek kepercayaan publik terhadap pemerintah,” tegasnya.
Terjepit Regulasi Baru
Lebih jauh, Nana menjelaskan bahwa situasi ini semakin pelik karena adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 85 Tahun 2024, yang mengatur bahwa penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dilakukan setiap tiga tahun sekali. Artinya, meski kenaikan terakhir terjadi di akhir 2021, Pemkab Karawang otomatis akan melakukan penyesuaian lagi pada tahun 2025 atau awal 2026 mendatang.
“Ini seperti buah simalakama bagi Pemkab Karawang. Di satu sisi masyarakat sedang marah karena kenaikan PBB-P2, tapi di sisi lain aturan pusat mewajibkan penyesuaian NJOP yang pasti berdampak pada kenaikan pajak lagi,” ujarnya.
Potensi Dampak Hukum dan Politik
Menurut Nana, dampak hukum dari kebijakan ini juga tidak bisa dianggap enteng. Pasalnya, sebagian kelompok masyarakat sudah mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) atas SK Bupati Karawang tersebut.
“Kalau MA mengabulkan gugatan itu, bisa saja Pemkab wajib mengembalikan dana kelebihan bayar pajak dari 2021 sampai sekarang. Tapi semua masih fifty-fifty, tinggal kita tunggu putusannya,” ungkap Ketua Presidium DPC Kongres Advokat Indonesia (KAI) Karawang itu.
Namun yang paling dikhawatirkan, kata Nana, adalah konsekuensi politik yang akan menghantam kepemimpinan Aep–Maslani. Ia mencontohkan kasus serupa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana Bupati Sudewo dilaporkan ke KPK dan bahkan dimakzulkan masyarakat karena persoalan pajak daerah.
“Jika Pemkab Karawang terus menutup mata, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap Aep–Maslani akan merosot tajam. Ini ancaman serius, baik dari sisi hukum maupun politik,” tegas Nana.
Publik Menunggu Sikap Bupati
Hingga kini, masyarakat Karawang masih menunggu langkah tegas dari Bupati Aep Syaepuloh. Apakah akan tetap mempertahankan kebijakan PBB-P2 saat ini, melawan gugatan di MA, atau justru menurunkan pajak sebagai wujud keberpihakan terhadap rakyat.
“Semua mata publik sedang tertuju pada Pemkab. Apakah mereka akan melawan, atau memilih jalan kompromi yang pro-rakyat,” tutup Nana Kustara.
Dengan gelombang protes yang terus menguat, kebijakan pajak Karawang kini bukan sekadar isu fiskal. Ia telah menjelma menjadi ujian besar bagi kepemimpinan dan kredibilitas politik Aep–Maslani di mata warganya.
• Irfan Sahab
0 Komentar