![]() |
| Foto : Jovianza selaku kuasa hukum ahli waris Data bin Adon |
Nuansametro.com - Karawang | Kontroversi dugaan pengrusakan lahan milik ahli waris Data bin Adon di Dusun Pasirpanggang, Desa Sukamakmur, Kecamatan Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, kian memanas. Kepala Desa Wadas, H. Junaedi atau akrab disapa Lurah Jujun, akhirnya buka suara menanggapi laporan hukum yang menyeret namanya.
Dalam pernyataannya yang dikutip dari Ulas Berita, Lurah Jujun menegaskan bahwa aktivitas pengerukan tanah yang dilakukan di lokasi tersebut bukanlah tindakan pribadi, melainkan mandat resmi dari Gubernur Jawa Barat melalui Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi Jawa Barat.
“Saya dilaporkan katanya melakukan pengrusakan. Tapi semua kegiatan itu atas mandat dari pimpinan, dalam hal ini Gubernur Jawa Barat dan SDA Provinsi. Saya hanya menjalankan perintah dan bertanggung jawab sebagai kepala desa,” tegas Jujun.
Namun, pernyataan tersebut justru memantik reaksi keras dari kuasa hukum ahli waris, Jovianza, SH, yang menilai klaim “mandat Gubernur” tersebut janggal dan tidak sesuai dengan sistem birokrasi pemerintahan daerah.
“Mandat seperti apa yang dimaksud? Dalam sistem pemerintahan, istilah yang lazim digunakan itu instruksi Gubernur, bukan mandat. Kalau benar Lurah Jujun mengaku mendapat mandat langsung dari Gubernur, artinya Bupati Karawang tidak dilibatkan sama sekali. Jadi apakah tindakan pengerukan lahan itu bisa dikatakan resmi, atau justru ilegal?” ujarnya tajam.
Normalisasi atau Dalih?
Lurah Jujun berdalih bahwa kegiatan pengerukan tanah tersebut merupakan bagian dari program normalisasi saluran air untuk mencegah banjir. Namun, klaim itu kembali dibantah oleh pihak ahli waris.
Menurut Jovianza, fakta di lapangan menunjukkan saluran yang disebut-sebut untuk normalisasi justru menghubungkan Sungai Citarum ke Sungai Citarum, sehingga tujuan proyek tersebut patut dipertanyakan.
“Dari video drone yang direkam oleh salah satu konten kreator, jelas terlihat ujung saluran berawal dan berakhir di Sungai Citarum. Jadi logikanya, bagaimana bisa saluran itu menanggulangi banjir? Jangan-jangan malah menambah potensi banjir,” sindirnya.
Jovianza juga menyinggung aspek tata ruang wilayah. Berdasarkan Perda No. 19 Tahun 2004 hingga Perda No. 2 Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Karawang Tahun 2011–2031, lokasi lahan yang dikeruk tersebut termasuk zona kuning (perumahan), bukan zona hijau (pertanian).
“Tidak ada urgensi normalisasi di wilayah itu. Program yang diklaim Lurah Jujun justru diduga ilegal dan tidak berdasarkan kajian ilmiah (feasibility study),” tegasnya.
Kuasa Hukum: Cek Dulu, Jangan Semena-Mena
Kuasa hukum ahli waris lainnya, Elyasa Budianto, SH, MH, menilai tindakan pengerukan lahan tanpa memastikan status kepemilikan merupakan bentuk arogansi birokrasi.
“Kalau ada rencana pembangunan apapun, harus dicek dulu kepemilikan tanahnya. Jangan ugal-ugalan dan semena-mena mengeruk tanah orang lain,” katanya.
Elyasa juga menyoroti kehadiran Gubernur Jawa Barat yang sempat melakukan inspeksi mendadak ke lokasi.
“Setingkat Gubernur kok sampai turun langsung mengurusi normalisasi saluran air tingkat desa. Ini bisa ditangani Camat atau Bupati. Jangan-jangan ini hanya panggung politik atau kepentingan konten kreator semata,” sindirnya.
Lurah Jujun Disarankan Diam Dulu
Lebih jauh, Jovianza menilai pernyataan Lurah Jujun di media justru bisa menjadi bumerang hukum.
“Sebagai terlapor, seharusnya ia menyampaikan klarifikasi ketika dimintai keterangan oleh penyidik. Dengan mengakui dirinya bertanggung jawab atas kegiatan dan alat berat di lokasi, Lurah Jujun secara tidak langsung sudah mengakui perbuatannya,” pungkas Jovianza.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kabupaten Karawang maupun Dinas SDA Provinsi Jawa Barat terkait dugaan pemberian “mandat” tersebut.
• Irfan Sahab

0 Komentar