Headline News

‎Hari Santri 2025, Menghidupkan Kembali Semangat Resolusi Jihad di Era Modern

‎Oleh: Dr. Muslich Taman, Lc.
Humas SMAN 1 Rumpin & Penulis Buku “Guru Sang Arsitek Masa Depan”


‎Nuansametro.com | Tanggal 22 Oktober 1945 bukan sekadar angka dalam kalender sejarah Indonesia. Ia menjadi tonggak perjuangan besar, saat para ulama dan santri “turun gunung” bukan dengan kata-kata, melainkan dengan pengorbanan jiwa dan raga. Pada hari itu, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad, sebuah seruan suci untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman kembalinya penjajah Belanda yang membonceng sekutu.

‎Isi resolusi tersebut sangat tegas: membela tanah air dari penjajahan adalah fardhu ain bagi setiap muslim yang mampu. Seruan ini menjadi bahan bakar moral dan spiritual bagi pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Resolusi Jihad menjadi bukti bahwa agama dan nasionalisme bukan dua kutub yang berseberangan, tetapi saling menguatkan.

‎Kini, delapan dekade telah berlalu. Penjajah bersenjata memang telah pergi, namun tantangan bangsa justru semakin kompleks — dari kemiskinan, kebodohan, hingga krisis moral. Maka pertanyaannya, “Apa bentuk Resolusi Jihad hari ini?”

‎Santri masa kini tidak lagi dituntut mengangkat senjata, melainkan mengangkat pena dan ilmu pengetahuan. Di tengah arus teknologi dan informasi yang cepat, jihad santri adalah jihad intelektual — belajar sungguh-sungguh, memperdalam ilmu agama dan sains, serta mengasah nalar kritis tanpa merasa cukup.

‎Sebagaimana pesan Imam Asy-Syafi’i, “Barang siapa tidak tahan letihnya belajar, maka ia akan menanggung perihnya kebodohan.”

‎Menuntut ilmu bukan sekadar tugas pribadi, tetapi bagian dari pengabdian kepada agama dan bangsa. Santri hari ini harus menjadi pelita di tengah kegelapan zaman, menguasai ilmu dan mengamalkannya demi kemaslahatan umat.

‎Jihad tidak hanya bersifat personal, tetapi juga sosial. Santri mesti menjadi agen perekat di tengah masyarakat yang kerap terbelah oleh perbedaan. Jihad sosial berarti membangun harmoni, mempererat silaturahmi, dan menjadi penghubung antarwarga bangsa.

‎Seperti para kiai terdahulu yang menjadi tokoh pemersatu, santri modern dituntut menjadi pelopor kehidupan sosial yang penuh kasih sayang, toleransi, dan kepedulian. Pesan emas KH. Hasyim Asy’ari “Hubbul Wathan Minal Iman” (Cinta tanah air sebagian dari iman) harus terus dihidupkan, bukan sekadar slogan, tetapi nilai yang mengalir dalam jiwa setiap santri Indonesia.

‎Di tengah derasnya arus budaya global yang membawa nilai-nilai negatif, santri adalah benteng terakhir moral bangsa. Jihad moral berarti menjaga akhlak, meneladani kejujuran, kesederhanaan, dan integritas.

‎Banyak generasi muda kini mudah terseret gaya hidup permisif dan kehilangan arah. Di sinilah santri harus hadir — bukan menghakimi, tetapi menuntun; bukan mengejek, tetapi mengajak.
‎Sebagaimana pesan Imam Al-Ghazali, “Rusaknya manusia karena rusaknya ulama, dan rusaknya ulama karena cinta dunia.”

‎Momentum Hari Santri 2025 harus menjadi ruang refleksi. Jihad kini bukan lagi perang fisik, melainkan perjuangan intelektual, sosial, dan moral untuk membangun bangsa yang berilmu, beradab, dan berkeadilan.

‎Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 adalah warisan abadi yang harus terus hidup — bukan hanya dalam buku sejarah, tapi dalam perilaku dan karya nyata santri. Tanah air hari ini memanggil, bukan untuk dipertahankan dengan peluru, tetapi dengan ilmu, cinta, dan keteladanan.

‎Sebagaimana pesan Imam Al-Ghazali, “Jika kamu bukan anak raja, dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.”
‎Mari, para santri dan penuntut ilmu, menulis sejarah baru — bukan dengan darah, tetapi dengan gagasan dan akhlak mulia.


0 Komentar

Posting Komentar
© Copyright 2022 - Nuansa Metro