![]() |
| Foto : Asep Agustian, SH., MH |
Nuansametro.com - Karawang | Proyek pembangunan Gedung IGD dan Perawatan Kritis Terpadu RSUD Karawang Tahap II kembali menjadi sorotan. Sejumlah pekerja konstruksi dari PT PIP, selaku kontraktor pelaksana, kedapatan tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), memicu keprihatinan dan kritik tajam dari publik, termasuk pengamat kebijakan daerah.
Pengamat kebijakan Karawang, Asep Agustian, menyatakan kekecewaannya atas kelalaian tersebut. Ia menyebut, selain menerima laporan dari wartawan, dirinya pun menyaksikan langsung para pekerja bekerja tanpa APD di lokasi proyek yang dibiayai dengan anggaran besar.
“Mengabaikan keselamatan kerja bukan hanya soal administrasi, ini soal nyawa manusia. Jika perusahaan tidak menyediakan APD dan tidak menerapkan prosedur K3 secara serius, konsekuensinya bisa sangat fatal,” tegas Asep Agustian, Selasa (5/8/2025) sore.
Sertifikasi K3 Jadi Sorotan
Tak hanya soal APD, Asep juga menyoroti pentingnya kompetensi para pekerja, terutama yang bekerja di ketinggian. Ia mempertanyakan apakah para pekerja yang berada di lantai dua dan seterusnya sudah memiliki sertifikasi K3 yang sah dan sesuai ketentuan.
“Coba dicek, apakah pekerja di lantai dua sudah bersertifikasi K3? Jangan sampai hanya lampiran dokumen waktu ikut lelang, tapi faktualnya tidak sesuai di lapangan. Ini bukan sekadar formalitas,” tegas Asep yang juga menjabat Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Karawang.
Menurutnya, pekerjaan di atas ketinggian memerlukan keterampilan dan kesadaran akan risiko yang tinggi. Tanpa sertifikasi dan pelatihan yang memadai, para pekerja seharusnya tidak diizinkan untuk berada di area tersebut.
Desak Sanksi Tegas untuk Kontraktor
Asep mendesak agar Ketua Tim Pelaksana Proyek segera mengambil tindakan tegas terhadap pihak kontraktor. Ia menekankan bahwa keselamatan kerja bukan hal yang bisa ditawar, terlebih proyek ini dikerjakan dengan nilai kontrak besar, yakni Rp22,7 miliar dan tenggat waktu 180 hari kalender.
“Ini bukan proyek kecil. Kalau di awal saja sudah abai soal keselamatan, bagaimana dengan tahapan pekerjaan selanjutnya seperti pemasangan kaca atau material berat lainnya?” ujarnya retoris.
Ia juga menyoroti pola pengadaan proyek yang kerap kali tidak memberikan ruang bagi pengusaha lokal Karawang. Menurutnya, perusahaan yang mendapat proyek justru bukan berasal dari Karawang, bahkan keberadaan kantor fisik pelaksana proyek pun dipertanyakan.
“Perusahaan pelaksana bukan orang Karawang, kantornya juga tidak jelas. Ketika ada masalah, kantor pelaksana harus bisa diakses. Jangan sampai hanya ada nama, tapi fisiknya tidak ada di lokasi proyek,” kata Asep.
Tantangan Transparansi dan Pengawasan Proyek
Pernyataan Asep membuka kembali pertanyaan publik mengenai sejauh mana pengawasan terhadap proyek-proyek besar yang menggunakan anggaran negara.
Apakah aspek keselamatan kerja benar-benar menjadi perhatian serius, atau justru hanya menjadi formalitas dalam dokumen tender?
Dengan nilai kontrak yang besar dan dampak yang signifikan bagi layanan kesehatan masyarakat, proyek RSUD Karawang Tahap II semestinya menjadi contoh dalam penerapan standar K3 dan transparansi pelaksanaan.
Publik menanti respons dari pihak terkait, termasuk Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, dan Bupati Karawang H. Aep Syaepuloh, yang sebelumnya telah mengeluarkan instruksi tegas soal kepatuhan terhadap K3.
• Rls/NM

0 Komentar