Foto : Sastrajendra Living Academy (SLA) menggelar wedaran perdananya sebagai langkah awal dalam membangun kesadaran spiritual dan karakter bangsa yang tangguh
Nuansametro.com – Jakarta | Dalam upaya membangun kesadaran spiritual dan memperkuat karakter bangsa di tengah tantangan zaman modern, Sastrajendra Living Academy (SLA) menggelar aktivitas perdana bertajuk wedaran di Museum Benyamin Sueb, Jakarta, pada 18 Mei 2025. Kegiatan ini menandai langkah awal SLA sebagai pusat pendidikan jiwa yang memadukan ilmu, budaya, dan spiritualitas dalam satu kesatuan yang harmonis.
Dengan nuansa penuh makna, acara ini dipandu oleh Romo Toni Junus Kanj. Gung sebagai sesepuh spiritual dan Anggoro Andi Saputra sebagai Senior Coach, menghadirkan pengalaman mendalam bagi para peserta.
Wedaran bukan sekadar forum pembelajaran, tetapi perjalanan batin yang mengajak peserta menyelami diri, memahami sifat, dan mencari arah hidup yang selaras antara duniawi dan rohani.
“Ini bukan soal belajar teori, melainkan soal menyelaraskan diri, mengenali warisan budaya, dan menjadi manusia seutuhnya,” ujar Buntje Harbunangin, pembina SLA, dalam wawancara eksklusif. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kecerdasan intelektual, spiritualitas, dan kesadaran budaya.
Tujuan utama wedaran ini, menurut Buntje, adalah mewujudkan kasampurnaning hurip — kehidupan yang paripurna, berkualitas secara spiritual, dan berhasil dalam karier duniawi.
Dalam suasana penuh keakraban dan semangat gotong royong, peserta tak hanya belajar, tetapi juga saling menguatkan dalam kebersamaan untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya lokal.
Ketua SLA, dr. Bambang Hayunanto, menegaskan bahwa falsafah Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu menjadi pondasi kegiatan ini. Falsafah Jawa tersebut mengajarkan proses transformasi dari sifat kasar menjadi pribadi yang beradab dan bijaksana.
“Hidup bukan sekadar berjalan tanpa arah. Kita perlu tahu sangkan paraning dumadi — asal-usul dan tujuan kita. Wedaran ini mengajak kita untuk eling lan waspada, hidup dengan kesadaran, dan akhirnya kembali ke ‘manunggaling kawula Gusti’,” jelas dr. Bambang.
Ia menambahkan, SLA bukan ruang mencari kesaktian gaib, tapi tempat menempa diri agar sukses secara lahir dan batin. Prinsip memayu hayuning bawono memperindah dunia dengan kebaikan menjadi pijakan moral dalam setiap aktivitas akademi ini.
Dengan pendekatan unik yang merangkul tradisi Nusantara dan praktik kontemplatif, SLA hadir sebagai oase pendidikan spiritual bagi masyarakat modern yang haus akan makna hidup.
Wedaran perdana ini menjadi awal perjalanan panjang untuk menghidupkan kembali kebijaksanaan lokal sebagai solusi dalam menghadapi tantangan global.
• ZuL
0 Komentar