Foto : Tim Kuasa Hukum Horas Sianturi, Tutik Rahayu, SH.
Nuansa Metro - Pematangsiantar | Tim kuasa hukum Horas Sianturi menyampaikan keberatan terhadap sejumlah pemberitaan di media daring yang dianggap menggiring opini publik secara tidak objektif terkait perkara hukum yang tengah dihadapinya bersama Nur Fadilah.
Advokat Tutik Rahayu, S.H., mewakili tim penasihat hukum, menyesalkan sorotan yang dinilai tidak proporsional terhadap proses hukum yang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Simalungun.
Menurut Tutik, perkara ini bermula dari konflik warisan antara pihak Marwati Salimi Cs dan Mariana yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun. Upaya damai dilakukan pada tahun 2020 melalui mediasi oleh Horas Sianturi, S.H., dan menghasilkan akta perdamaian yang disahkan di hadapan notaris di Pematangsiantar.
Sebagai bentuk penyelesaian, tiga sertifikat hak milik (SHM) atas nama Mariana diserahkan kembali kepada pihak Marwati. Dua di antaranya kemudian diberikan kuasa jual kepada Horas Sianturi, berdasarkan Surat Kuasa Nomor 01 dan 04.
Salah satu aset tersebut adalah bangunan bekas gudang yang telah terbakar di kawasan Sinaksak, Simalungun. Besi tua dari bangunan itu dijual seharga Rp85 juta.
Dana hasil penjualan digunakan untuk renovasi aset Mariana, sebagian didanai secara pribadi oleh Horas. Sesuai kesepakatan, Horas berhak atas 20% hasil penjualan, sisanya diserahkan kepada pihak keluarga.
Namun, penetapan Horas sebagai tersangka oleh penyidik Polres Simalungun dalam dugaan kasus penggelapan dan penadahan dinilai tim kuasa hukum sebagai tindakan prematur.
Mereka menyatakan tidak ditemukan unsur pidana dalam perkara ini, dan tidak ada penyitaan barang bukti maupun garis polisi di lokasi yang dimaksud.
"Klien kami kooperatif sejak awal hingga berkas dinyatakan lengkap (P21). Tidak dilakukannya penahanan adalah bagian dari diskresi jaksa, bukan suatu kewajiban," tegas Tutik.
Ia juga mengungkap bahwa upaya keadilan restoratif yang difasilitasi Kejaksaan belum berhasil, karena pihak pelapor tidak pernah hadir langsung dalam proses tersebut.
Tim hukum bahkan menyebut adanya permintaan imbalan hingga Rp500 juta dari kuasa hukum pelapor, yang dinilai tidak etis.
Menutup pernyataannya, Tutik menyerukan agar media tetap menjunjung etika jurnalistik, menyampaikan informasi secara adil, serta menghormati asas praduga tak bersalah.
"Penahanan bukanlah kewajiban mutlak dalam hukum. Mari kita jaga agar informasi yang beredar tetap berimbang dan mendidik masyarakat," pungkasnya.
Sumber: Humas MIO Indonesia
0 Komentar