Foto : Sejumlah petugas Satgas Fisik Pelayanan Ukur dan Pemetaan Tanah di Bidang Pengukuran Lahan dari Kantor ATR/BPN Kabupaten Karawang saat melakukan pengukuran hingga pemetaan area lahan di lokasi yang menjadi polemik antara warga Batujaya dengan Pemkab Karawang. (Dok: istimewa)
Nuansa Metro - Karawang | Polemik lahan milik warga yang digusur untuk proyek pembangunan jalan penghubung antara Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi kembali mencuat.
Meski proyek tersebut telah rampung sejak tahun 2005 dan kini jalan tersebut diklaim sebagai aset milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karawang, sejumlah warga masih memperjuangkan hak ganti rugi yang tak kunjung diterima.
Salah satunya adalah Henny Yulianti (60), warga Desa Batujaya, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang. Ia mengaku kehilangan tanah seluas 426 meter persegi beserta bangunan rumahnya akibat proyek pembangunan jalan yang menghubungkan dua kabupaten tersebut.
Hingga kini, hampir dua dekade berlalu, ia dan keluarga belum juga menerima kompensasi dari pemerintah.
"Sudah 20 tahun kami menunggu, tapi hak kami belum juga dibayar. Saya berharap Gubernur Jawa Barat dan Bupati Karawang bisa membantu menyelesaikan masalah ini," ujar Henny sambil menahan tangis.
Persoalan ini semakin rumit karena adanya perbedaan data antara Pemkab Karawang dan Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Karawang.
Pemkab Karawang melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) menyatakan bahwa lahan tersebut telah dibebaskan dan dibayar pada tahun 2006.
“Luas lahan yang dibebaskan mencapai 4.791 meter persegi dan sudah tercatat sebagai aset daerah,” ujar Sukatmi, Kepala Bidang Aset BPKAD Karawang, Kamis (17/4).
Namun pernyataan itu dibantah oleh pihak ATR/BPN Karawang. Dedi, Staf Penetapan Hak Instansi Pemerintah di ATR/BPN Karawang, menyebut hingga kini tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa lahan tersebut terdaftar sebagai aset milik Pemkab Karawang.
“Nomor haknya tidak jelas. Kalau memang itu aset, harus ada dokumen sah seperti sertifikat dan batas-batas tanah yang valid. Tapi sejauh ini kami tidak menemukan data itu,” kata Dedi.
Kebingungan ini bahkan sempat mendorong Bupati Karawang, H. Aep Syaefulloh, untuk mengirim surat permohonan informasi kepada ATR/BPN Karawang pada Mei 2024 lalu. Namun, dalam surat balasan tertanggal 6 Juni 2024, ATR/BPN Karawang menyatakan tidak memiliki data pengadaan tanah yang dimaksud.
Pembangunan jalan tersebut dulunya merupakan proyek Dinas Bina Marga Karawang yang kini berganti nama menjadi Dinas PUPR Karawang. Namun, hingga kini tidak ada kejelasan tentang proses administrasi dan pembayaran lahan yang digunakan.
Sejumlah warga yang terdampak berharap pemerintah turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini secara adil. Mereka mendesak agar hak ganti rugi yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah segera direalisasikan.
"Jangan sampai kami terus menunggu tanpa kejelasan. Kami hanya ingin keadilan atas tanah kami yang diambil demi kepentingan umum," ujar Henny mewakili warga lainnya.
Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut hak warga yang selama hampir 20 tahun terabaikan. Publik pun menantikan langkah konkret dari pemerintah daerah maupun provinsi untuk menyelesaikan sengkarut ini secara tuntas.
• NP
0 Komentar