Nuansa Metro - Karawang | Di tengah perkembangan zaman dan semakin kompleksnya urusan finansial, kasus kredit macet masih sering terjadi. Baik individu maupun lembaga seperti koperasi dan perbankan kerap menghadapi situasi di mana debitur kesulitan memenuhi kewajiban angsuran kredit.
Hal ini tak jarang menimbulkan polemik, terutama di sektor perbankan. Namun, banyak yang belum memahami bahwa debitur sebenarnya memiliki hak-hak penting sejak awal proses kredit berlangsung salah satunya adalah hak atas salinan perjanjian kredit.
Praktisi hukum, RL Jeri S., S.H., menjelaskan bahwa dalam setiap proses pengajuan kredit, terdapat kesepakatan antara debitur dan kreditur yang dituangkan dalam dokumen perjanjian.
“Saat kedua belah pihak menandatangani perjanjian kredit, maka masing-masing wajib memiliki salinan dokumen tersebut,” ujar Jeri.
Ia menambahkan, salinan perjanjian itu sangat penting sebagai pedoman hukum selama masa kredit berjalan.
“Apabila terjadi kendala seperti kredit macet atau perselisihan lainnya, dokumen ini menjadi dasar hukum yang mengikat kedua belah pihak,” jelasnya.
Jeri juga mengingatkan bahwa hak debitur atas salinan dokumen perjanjian diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan.
“Dalam KUH Perdata, khususnya Pasal 1320, dijelaskan syarat sahnya perjanjian. Jika salah satu pihak dalam hal ini debitur tidak diberikan haknya, seperti salinan perjanjian, maka bisa menimbulkan cacat hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, hak ini juga diperkuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, serta Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2012 dan Nomor 5 Tahun 2014.
“Semua aturan ini memberi landasan hukum yang kuat, dan tentu ada sanksi bagi pihak yang melanggar,” ujar Jeri.
Terakhir, ia menegaskan pentingnya asas kesetaraan dalam perjanjian kredit.
“Baik debitur maupun kreditur memiliki kedudukan yang sama. Itu sebabnya semua pihak harus diberi pemahaman yang jelas dan hak-haknya dihormati,” pungkasnya.
• Red
0 Komentar