Nuansa Metro - Jakarta | Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat Badan Anti Korupsi Nasional (BAKORNAS), Hermanto, S.Pd.K., S.H., CPS., CLS., CNS., CHL., mengungkapkan keprihatinannya terhadap masih maraknya praktik korupsi dalam penggunaan anggaran perjalanan dinas di berbagai instansi pemerintahan di Indonesia.
Menurut Hermanto, korupsi perjalanan dinas, termasuk perjalanan dinas fiktif, merupakan bentuk penyalahgunaan anggaran negara yang kerap terjadi, namun kerap pula dianggap remeh.
“Fenomena ini sangat memprihatinkan. Bagaimana mungkin kita berharap Indonesia bebas dari korupsi jika praktik seperti ini masih dianggap hal sepele?” ujarnya kepada media.
Hermanto mencontohkan beberapa kasus yang sempat mencuat ke publik, seperti:
- Kasus perjalanan dinas fiktif di Provinsi Riau yang tengah ditangani Ditreskrimsus Polda Riau pada awal 2025.
- Kasus serupa di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara yang ditangani Polres Labuhanbatu pada tahun 2022.
- Dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif senilai Rp2,3 miliar oleh Kepala Dinas Pendidikan Riau pada 2024.
- Kasus pada tujuh SKPD Pemkot Bontang dengan total kerugian mencapai Rp77 juta lebih pada 2024.
Hermanto menilai bahwa banyak aparatur sipil negara (ASN) dan pejabat publik masih memanfaatkan celah administratif untuk melakukan penyimpangan.
“Selama dokumen pertanggungjawaban lengkap dan sesuai prosedur, mereka merasa aman. Padahal efisiensi anggaran tak bisa diukur hanya dari kelengkapan administrasi semata,” tegasnya.
Ia juga mengkritik kebiasaan menyelubungi kegiatan pribadi seperti mudik atau menghadiri pernikahan kolega dengan dalih perjalanan dinas.
“Bahkan rapat instansi pemerintah yang digelar di hotel, sering kali hanya formalitas. Judul rapat masih terpampang, tapi pesertanya sudah pulang sejak hari sebelumnya,” ungkapnya.
Hermanto menambahkan, penyimpangan juga sering terjadi dalam bentuk penggelembungan jumlah peserta perjalanan, hingga mempersingkat durasi perjalanan untuk kepentingan pribadi seperti wisata atau kunjungan keluarga.
Tak jarang, pegawai golongan rendah ikut terseret dalam praktik ini, karena terlibat dalam proses penyusunan dan pelaporan dokumen, seperti bendahara pengeluaran, pembuat surat perintah tugas (SPT), hingga penyedia boarding pass.
BAKORNAS menekankan bahwa praktik semacam ini jelas melanggar hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
“Pengembalian kerugian negara tidak menghapus unsur pidananya. Bila tidak ketahuan, tentu pengembalian itu pun tak akan terjadi,” tegas Hermanto.
Menurutnya, penegakan hukum tidak boleh hanya fokus pada nilai kerugian atau nominal uang yang dikembalikan, melainkan harus menindak segala bentuk penyalahgunaan wewenang dan praktik manipulasi seperti laporan fiktif atau penyalahgunaan anggaran.
Menutup pernyataannya, Hermanto mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk ikut mengawasi pelaksanaan program pemerintah dan penggunaan anggaran publik.
“Kritik dan pengawasan publik sangat dibutuhkan untuk mewujudkan tata kelola negara yang bersih dan bebas dari korupsi,” pungkasnya.
• Red
0 Komentar