Nuansa Metro - Jakarta Selatan | Aksi penagihan utang yang dilakukan oleh debt collector (Matel) dengan cara merampas paksa kendaraan semakin meresahkan masyarakat. Padahal, tindakan tersebut menyalahi aturan hukum yang berlaku. Pakar hukum, Rurih S.H., CM, menegaskan bahwa penarikan kendaraan bermotor yang mengalami kredit macet sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
“Debt collector tidak boleh menggunakan cara premanisme dalam menagih utang. Ada prosedur yang harus dipenuhi sebelum kendaraan bisa ditarik,” ujar Rurih saat ditemui di kantornya, Minggu (9/3/2025).
Ia menjelaskan bahwa dalam UU tersebut, fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan, namun benda tersebut tetap berada dalam penguasaan pemiliknya. Artinya, kreditur tidak bisa serta-merta mengambil kendaraan tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
Putusan MK: Debt Collector Tak Bisa Sembarangan Tarik Kendaraan
Salah satu perdebatan dalam UU Jaminan Fidusia adalah terkait mekanisme eksekusi kendaraan yang mengalami kredit macet. Sebagian pihak menafsirkan bahwa kendaraan hanya bisa ditarik melalui putusan pengadilan, sementara sebagian lain menganggap penarikan bisa dilakukan langsung oleh debt collector.
Untuk mengatasi perbedaan tafsir ini, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2019 mengeluarkan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang memperjelas aturan terkait eksekusi jaminan fidusia. Dalam putusan tersebut, MK memperbolehkan penarikan kendaraan oleh debt collector asalkan memenuhi syarat tertentu, yaitu:
✅ Memiliki sertifikat fidusia sebagai bukti hak eksekusi kendaraan.
✅ Dilengkapi surat tugas atau surat kuasa penarikan dari pihak leasing.
✅ Petugas harus memiliki kartu sertifikat profesi dan identitas resmi.
“Jika ada debt collector yang melakukan penarikan paksa tanpa prosedur yang sah, masyarakat berhak menolak dan melaporkannya ke pihak berwajib,” tegas Rurih.
Penarikan Paksa Bisa Dijerat Hukum
Tindakan debt collector yang merampas kendaraan tanpa prosedur yang benar bisa dikategorikan sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 335 KUHP jo Pasal 55 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan atau Pasal 365 KUHP jo Pasal 55 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan.
Bukti bahwa kepolisian tidak tinggal diam terlihat dari penangkapan sembilan debt collector Mata Elang di Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Rabu (5/3/2025).
Kapolsek Cileungsi, Kompol H. Edison, mengungkapkan bahwa penangkapan ini merupakan bagian dari operasi penertiban premanisme yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
“Kami menangkap sembilan debt collector yang diduga merampas motor milik seorang siswi di Cileungsi. Mereka kami amankan di Jalan Raya Narogong dan Jalan Alternatif Cibubur,” ungkap Edison, Kamis (6/3/2025).
Adapun para pelaku yang berhasil diamankan berinisial RM (18), SEM (18), AFSW (29), GHA (26), FZF (25), SF (24), LE (18), PU (37), dan FL (47).
Masyarakat Diminta Melapor Jika Terjadi Pemaksaan
Rurih menegaskan bahwa masyarakat yang mengalami tindakan merugikan dari debt collector sebaiknya segera melapor ke polisi. Dengan adanya aturan yang jelas, masyarakat tidak perlu takut menghadapi penagih utang yang bertindak sewenang-wenang.
“Jika mengalami pemaksaan atau penarikan kendaraan yang tidak sesuai prosedur, segera laporkan ke kepolisian agar bisa diproses secara hukum,” pungkasnya.
Aksi premanisme berkedok penagihan utang memang tidak boleh dibiarkan. Penegakan hukum yang tegas menjadi kunci agar praktik semacam ini tidak semakin merajalela di tengah masyarakat.
• ZuL/Red
0 Komentar