Foto : Utari Syahfitri janda dua anak saat bersumpah dibawah kitab suci (dok: video Utari Syahfitri)
Nuansa Metro - Medan | Krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia semakin menjadi perhatian publik. Ketidakprofesionalan oknum aparat dalam menangani perkara hukum membuat sejumlah warga yang merasa terzalimi memilih bersumpah di bawah Kitab Suci untuk membuktikan kebenaran yang mereka alami.
Salah satu contoh yang menggemparkan adalah kasus Utari Syahfitri, seorang janda dengan dua anak di bawah umur. Dalam sebuah video berdurasi 1 menit 17 detik yang direkam di Masjid Lapas Tanjung Gusta, Medan, Utari dengan berlinang air mata bersumpah atas nama Allah bahwa dirinya tidak pernah menjual rumahnya kepada Bripka AG.
“Saya bersumpah atas nama Allah yang mulia. Saya tidak pernah menjual rumah saya kepada Abadi Ginting, tidak pernah datang ke Notaris Sri Anitha Ginting, dan tidak pernah membuat surat pernyataan seperti yang dituduhkan. Tolonglah berlaku adil kepada saya,” ucap Utari dalam video tersebut.
Utari Syahfitri: Korban Kriminalisasi Hukum?
Utari dilaporkan oleh Bripka AG atas tuduhan pemalsuan dokumen dan saat ini sedang menjalani hukuman di Lapas Tanjung Gusta. Namun, ia menegaskan bahwa rumahnya tidak pernah dijual, melainkan hanya dijadikan jaminan utang sebesar Rp30 juta pada Januari 2021.
Menurut Utari, dalam perjanjian pengakuan utang, nilai pinjaman tersebut berubah menjadi Rp38,5 juta dengan bunga yang sangat tinggi, diduga mencapai Rp8,5 juta per bulan.
Utari mengaku telah membayar lebih dari Rp200 juta, tetapi surat kepemilikan tanah (SKT) miliknya tidak juga dikembalikan. Belakangan, AG mengklaim telah membeli rumah tersebut dan menggugat Utari di PN Stabat.
"Saya sudah melaporkan tindakan AG yang mengacak-acak rumah saya, memasang plang ‘RUMAH INI DIJUAL’, dan mengintimidasi saya, tapi laporan itu dihentikan. Saya benar-benar tidak percaya lagi dengan hukum,” ujar Utari sambil menangis.
Laporan Polisi yang Dihentikan dan Sanksi Propam
Utari sebelumnya melaporkan AG dan kawan-kawannya ke Polda Sumut atas tuduhan pengrusakan, tetapi laporan tersebut dihentikan (SP3) dengan alasan tidak ditemukan unsur pidana. Kompol TP Butarbutar dari Polda Sumut mengatakan bahwa pasal yang diterapkan saat pelaporan tidak tepat.
“Lapor lagi saja dengan pasal yang sesuai,” ujarnya singkat seperti dikutip dari Postkeadilan.com, Sabtu (18/1).
Namun, laporan Utari ke Divisi Propam Polri membuahkan hasil. AG dijatuhi sanksi etik dan administratif, termasuk penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Meski begitu, Utari menyebut AG belum pernah meminta maaf dan justru terus mengintimidasi dirinya dan anak-anaknya.
“Kami sering diancam melalui WhatsApp dan didatangi ke rumah. Saya benar-benar merasa tertekan,” kata Utari.
Krisis Kepercayaan Yang Mengkhawatirkan
Fenomena warga yang memilih bersumpah di bawah Kitab Suci, seperti yang dilakukan Utari dan sebelumnya dalam kasus Saka Tatal di Cirebon yang rela melakukan sumpah pocong, mencerminkan semakin tingginya krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum.
Masyarakat berharap agar kasus seperti ini menjadi perhatian serius bagi pihak berwenang, terutama Polri dan lembaga penegak hukum lainnya, untuk memastikan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.
"Kami hanya ingin keadilan. Saya berharap kasus ini bisa sampai ke Mabes Polri atau bahkan Istana Presiden,” tutup Utari dengan harapan besar.
• postkeadilan/NM
0 Komentar