ilustrasi
Nuansa Metro - Jakarta | Wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar kepala daerah, seperti gubernur dan bupati, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Usulan ini menuai beragam tanggapan, baik pro maupun kontra, dari berbagai pihak, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan partai politik.
Dalam sebuah acara politik, Presiden Prabowo menyoroti tingginya biaya pelaksanaan Pilkada langsung yang menurutnya tidak efisien. Ia mencontohkan negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan India yang memilih kepala daerah melalui mekanisme DPRD.
Prabowo: Pilkada Langsung Terlalu Mahal
Presiden Prabowo menyebut sistem Pilkada langsung menghabiskan anggaran yang besar tanpa memberikan hasil yang signifikan. “Kita harus berani mengoreksi diri. Sistem ini terlalu mahal. Bahkan yang menang Pilkada terlihat lesu, apalagi yang kalah,” ujarnya.
Prabowo menegaskan, anggaran besar yang digunakan untuk Pilkada dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain, seperti pendidikan, perbaikan infrastruktur, dan pengentasan kemiskinan. “Negara tetangga seperti Malaysia dan India sudah membuktikan bahwa sistem ini lebih efisien. Kita bisa mengadopsinya demi kebaikan bersama,” tambahnya.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyambut baik wacana ini. Ia menyebut mekanisme Pilkada melalui DPRD tetap memenuhi prinsip demokrasi selama prosesnya transparan dan akuntabel.
“Pemilihan secara demokratis tidak selalu berarti harus Pilkada langsung. Jika efisiensi anggaran menjadi salah satu pertimbangan utama, maka wacana ini layak untuk didiskusikan lebih lanjut,” kata Supratman di Kompleks Istana Kepresidenan.
Ia juga menyinggung kerawanan sosial yang kerap terjadi dalam Pilkada langsung, seperti konflik horizontal dan praktik politik uang. “Pilkada langsung memiliki potensi masalah sosial yang besar. Kita harus mencari solusi yang lebih baik,” lanjutnya.
Menurut Supratman, wacana ini sebenarnya bukan hal baru. Pada era Presiden Joko Widodo, ide serupa pernah muncul namun tidak mendapat momentum untuk dibahas lebih serius. Kini, dengan selesainya Pilkada 2024, usulan ini kembali relevan dan mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh politik.
“Wacana ini akan didiskusikan lebih lanjut dengan partai politik dan DPR sebelum menjadi usulan resmi,” ujarnya.
Pro dan Kontra di Tengah Masyarakat
Meski diusulkan dengan alasan efisiensi, wacana ini mendapat kritik dari berbagai kalangan. Beberapa pihak menilai pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa sistem ini akan membuka celah lebih besar untuk praktik politik transaksional.
Namun, pendukung wacana ini menilai sistem Pilkada langsung telah menciptakan biaya politik yang sangat tinggi, baik bagi calon kepala daerah maupun negara. Mereka percaya bahwa Pilkada melalui DPRD dapat mengurangi beban tersebut sekaligus memperkuat peran DPRD sebagai wakil rakyat.
Diskusi mengenai wacana ini dipastikan akan berlangsung panjang, melibatkan pemerintah, DPR, dan partai politik. Apakah usulan ini akan diterima atau justru memicu perdebatan lebih luas, publik kini menantikan langkah konkret dari para pemangku kepentingan.
Satu hal yang pasti, sistem Pilkada ke depan harus mampu menyeimbangkan efisiensi anggaran dengan prinsip demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat secara langsung.
• ZuL
0 Komentar