Penulis : Ketua Umum IAKSI, Ir. Muhammad Rifai
Sebuah insiden tidak menyenangkan terjadi di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu (28/9/2024). Diskusi bertajuk "Silaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional" dibubarkan secara paksa oleh sekelompok orang tak dikenal. Kelompok tersebut masuk ke ruangan dan dengan tindakan anarkis mengacak-acak tempat acara, membuat diskusi berakhir sebelum waktunya.
Ironisnya, kejadian ini berlangsung di hadapan aparat kepolisian yang hanya menonton tanpa melakukan intervensi. Tindakan pembiaran dari pihak berwajib ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama dari Ikatan Aktivis dan Konsorsium Solidaritas Indonesia (IAKSI), yang mengecam keras peristiwa tersebut.
Dalam pernyataannya, IAKSI menyoroti tiga poin penting. Pertama, mereka mengecam aksi premanisme yang dilakukan untuk membubarkan diskusi. Tindakan semacam ini, menurut mereka, adalah ancaman langsung terhadap kebebasan berekspresi dan tanda bahwa ruang sipil di Indonesia semakin menyempit.
Diskusi, yang seharusnya menjadi sarana dialog kebangsaan, justru dihentikan dengan cara-cara intimidatif yang tidak mencerminkan nilai demokrasi.
Kedua, IAKSI juga mengkritik keras sikap pasif aparat kepolisian yang diduga tidak mengambil langkah apapun untuk mencegah atau menghentikan aksi premanisme tersebut. Menurut mereka, tindakan aparat yang hanya membiarkan situasi berlangsung adalah pelanggaran hak asasi manusia, sebuah pelanggaran yang dilakukan karena pembiaran atau violation by omission.
Di negara demokratis, kebebasan berpikir dan berekspresi harus dilindungi oleh hukum, bukan dibiarkan menjadi korban aksi kekerasan.
Ketiga, IAKSI menekankan bahwa insiden ini adalah sebuah peringatan serius akan menyempitnya ruang kebebasan sipil di Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa demokrasi di negeri ini tengah mengalami kemunduran atau yang disebut dengan regressive democracy, di mana hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara dan berkumpul, semakin dipinggirkan oleh kekuatan-kekuatan yang mengancam prinsip demokrasi itu sendiri.
Peristiwa ini menambah daftar panjang insiden serupa di berbagai daerah, di mana diskusi publik dan aktivitas yang mengkritisi kondisi sosial-politik kerap menghadapi represi dan tekanan dari kelompok-kelompok yang tidak setuju. Bagi banyak pihak, kejadian ini merupakan refleksi dari ketidakamanan ruang sipil di Indonesia, sebuah tantangan besar bagi keberlanjutan demokrasi di negeri ini.
Publik kini menantikan respon lebih tegas dari pihak berwenang, khususnya kepolisian, untuk menindak tegas kelompok-kelompok yang mengancam kebebasan berkumpul dan berekspresi, serta memastikan bahwa aksi premanisme semacam ini tidak terulang lagi di masa depan.